Banyak orang berkata, bahwa cinta itu buta. Yang aku tahu cinta itu tidak
buta. Tapi membutakan. Bagaimana tidak? Coba tanyakan pada dirimu sendiri yang
sedang jatuh cinta pertamakali, ataupun yang sedang mencintai seseorang, yang
mungkin rela melakukan apa saja demi orang yang kamu cintai. Jangan tanya
kenapa aku tahu. Dua insan memang ditakdirkan untuk menjadi satu. Dan dalam
proses penyatuan itu pastilah dipenuhi ironi. Percayalah, setiap pertemuan
memiliki maksud yang sempurna. Untuk kamu, aku ada. Dan untuk aku, kamu ada. Kita hadir untuk
menyempurnakan satu sama lain. Seperti dalam menulis, aku hadir untuk menulis
bacaan untukmu, dan kamu hadir untuk membaca tulisanku.
Tunggu, sebenarnya apa
esensi dari menulis itu? Aku lelah menulis, jika hanya dicerca. Aku lelah
menulis jika hanya dihina. Aku lelah menulis jika tidak ada yang mengeja. Aku
lelah menulis jika pesanku tak terbaca. Tapi ini kehidupan, aku menulis di
kehidupan. Dan kenyataannya kehidupan ini selalu mencoba membuat kita jatuh,
tergelincir, sakit, hingga akhirnya kita menyerah, hingga kita lelah. Silahakan
bagi yang ingin mencerca tulisan saya ini.
Kata orang hidup itu hanya sekali, maka jangan disia-siakan. Kata orang
tidak semua kesalahan dalam hidup itu bisa dibenarkan. Lalu apa guna orang-orang
berkata “Jangan khawatir, masih ada kesempatan”. Memangnya mereka bisa menjamin
kesempatan itu selalu ada? Semua peristiwa hanyalah semata-mata peristiwa, tapi
cara kita menyikapinyalah yang memberi label. Entah itu diberi judul
tragedi atau keberuntungan.
Yang aku tahu, kesempatan itu tidak akan ada bagi orang yang lelah. Sedikit
saja tersandung, tergelincir, lalu terjatuh, langsung menyerah. Melepas semua
yang sudah ada didepan mata. Ada tidaknya kesempatan itu tidak dijamin dari
perkataan orang lain. Tetapi dari diri sendiri.
Berfikir pendek, salah satu hal yang bisa menghapus jejak kesempatan itu. Pesimisme
atau gengsi juga bisa menghapus jejak kesempatan itu. Namun, harapan berlebih
juga bisa menghapus jejak kesempatan itu. Takaran memang dibutuhkan.
Seseorang mengajarkan kepadaku bahwa semuanya yang berlebihan itu tidak
baik, tetapi seseorang juga mengajarkan kepadaku bahwa semuanya yang kekurangan
itu juga tidak baik. Lagi-lagi bermain takaran. Ilmuwan mana yang bisa
menemukan takaran pas ramuan-ramuan kimianya dengan cepat? Semuanya membutuhkan
waktu, dan mereka tetap berusaha, tidak menyerah hingga akhirnya menemukan
takaran yang pas. Takaran, adakah takaran yang sejak awal selalu pas? Sempurna
tanpa celah? Katakan padaku jika ada.
Aku lelah, tapi aku tidak ingin lelah. Aku gengsi, aku tak pernah mau gengsi. Buat apa gengsi kalau cuma merusak kesempatan? Aku berharap lebih,
iya aku berharap lebih, tapi hei!! Iya kalau harapanku tidak bertepuk
sebelah tangan? Apa gunanya kalau waktuku habis hanya untuk berharap tanpa ada
tindakan? Ya! Tindakan!
Rasa takut. Lagi – lagi ada penghalang kesempatan itu lagi. Yang aku
butuhkan dan harus aku lakukan adalah tidakan. Tapi entah ketakutanku akan
cacian atas tindakan yang akan kulakukan untuk mendapatkan kesempatan itu besar
atau tidak. Tapi aku takut. Berikan keikhlasan untuk menghapus ketakutan itu. Bless me, please.
Kesempatan. Kenapa kau sulit sekali kudapatkan? Well, semua pertanyaan
selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma
waktu. Sepertinya hidup mencoba mempermainkan kita untuk melakukan tindakan
dalam tempo yang cukup lama, yang mungkin bisa membakar emosi bagi yang sulit
meredamnya. Tapi percayalah bahwa di dunia ini tak ada yang sia-sia. Membiarkan
hidup dengan caranya sendiri menggiring kita menuju sebuah jawaban.
Dan darimu aku belajar untuk menyikapi suatu masalah dengan sudut pandang
kedua belah pihak. Keduanya
muncul secara berdampingan ataupun bergantian. Keduanya mempunyai siklus dan
takaran masing-masing. Keduanya harus dilakukan seiring oleh kedua belah pihak. Keduanya sempurna jika dipersatukan.
Regards,
Rana