Jul 31, 2013

Bersyukur.



Banyak orang berkata, bahwa cinta itu buta. Yang aku tahu cinta itu tidak buta. Tapi membutakan. Bagaimana tidak? Coba tanyakan pada dirimu sendiri yang sedang jatuh cinta pertamakali, ataupun yang sedang mencintai seseorang, yang mungkin rela melakukan apa saja demi orang yang kamu cintai. Jangan tanya kenapa aku tahu. Dua insan memang ditakdirkan untuk menjadi satu. Dan dalam proses penyatuan itu pastilah dipenuhi ironi. Percayalah, setiap pertemuan memiliki maksud yang sempurna. Untuk kamu, aku ada. Dan untuk aku, kamu ada. Kita hadir untuk menyempurnakan satu sama lain. Seperti dalam menulis, aku hadir untuk menulis bacaan untukmu, dan kamu hadir untuk membaca tulisanku.
Tunggu, sebenarnya apa esensi dari menulis itu? Aku lelah menulis, jika hanya dicerca. Aku lelah menulis jika hanya dihina. Aku lelah menulis jika tidak ada yang mengeja. Aku lelah menulis jika pesanku tak terbaca. Tapi ini kehidupan, aku menulis di kehidupan. Dan kenyataannya kehidupan ini selalu mencoba membuat kita jatuh, tergelincir, sakit, hingga akhirnya kita menyerah, hingga kita lelah. Silahakan bagi yang ingin mencerca tulisan saya ini.
Kata orang hidup itu hanya sekali, maka jangan disia-siakan. Kata orang tidak semua kesalahan dalam hidup itu bisa dibenarkan. Lalu apa guna orang-orang berkata “Jangan khawatir, masih ada kesempatan”. Memangnya mereka bisa menjamin kesempatan itu selalu ada? Semua peristiwa hanyalah semata-mata peristiwa, tapi cara kita menyikapinyalah yang memberi label. Entah itu diberi judul tragedi atau keberuntungan.
Yang aku tahu, kesempatan itu tidak akan ada bagi orang yang lelah. Sedikit saja tersandung, tergelincir, lalu terjatuh, langsung menyerah. Melepas semua yang sudah ada didepan mata. Ada tidaknya kesempatan itu tidak dijamin dari perkataan orang lain. Tetapi dari diri sendiri.
Berfikir pendek, salah satu hal yang bisa menghapus jejak kesempatan itu. Pesimisme atau gengsi juga bisa menghapus jejak kesempatan itu. Namun, harapan berlebih juga bisa menghapus jejak kesempatan itu. Takaran memang dibutuhkan.
Seseorang mengajarkan kepadaku bahwa semuanya yang berlebihan itu tidak baik, tetapi seseorang juga mengajarkan kepadaku bahwa semuanya yang kekurangan itu juga tidak baik. Lagi-lagi bermain takaran. Ilmuwan mana yang bisa menemukan takaran pas ramuan-ramuan kimianya dengan cepat? Semuanya membutuhkan waktu, dan mereka tetap berusaha, tidak menyerah hingga akhirnya menemukan takaran yang pas. Takaran, adakah takaran yang sejak awal selalu pas? Sempurna tanpa celah? Katakan padaku jika ada.
Aku lelah, tapi aku tidak ingin lelah. Aku gengsi, aku tak pernah mau gengsi. Buat apa gengsi kalau cuma merusak kesempatan? Aku berharap lebih, iya aku berharap lebih, tapi hei!! Iya kalau harapanku tidak bertepuk sebelah tangan? Apa gunanya kalau waktuku habis hanya untuk berharap tanpa ada tindakan? Ya! Tindakan!
Rasa takut. Lagi – lagi ada penghalang kesempatan itu lagi. Yang aku butuhkan dan harus aku lakukan adalah tidakan. Tapi entah ketakutanku akan cacian atas tindakan yang akan kulakukan untuk mendapatkan kesempatan itu besar atau tidak. Tapi aku takut. Berikan keikhlasan untuk menghapus ketakutan itu. Bless me, please.
Kesempatan. Kenapa kau sulit sekali kudapatkan? Well, semua pertanyaan selalu berpasangan dengan jawaban. Untuk keduanya bertemu, yang dibutuhkan cuma waktu. Sepertinya hidup mencoba mempermainkan kita untuk melakukan tindakan dalam tempo yang cukup lama, yang mungkin bisa membakar emosi bagi yang sulit meredamnya. Tapi percayalah bahwa di dunia ini tak ada yang sia-sia. Membiarkan hidup dengan caranya sendiri menggiring kita menuju sebuah jawaban.
Dan darimu aku belajar untuk menyikapi suatu masalah dengan sudut pandang kedua belah pihak. Keduanya muncul secara berdampingan ataupun bergantian. Keduanya mempunyai siklus dan takaran masing-masing. Keduanya harus dilakukan seiring oleh kedua belah pihak. Keduanya sempurna jika dipersatukan.


Regards,
Rana